Sasando, antara Pelestarian Budaya dengan Peluang
Usaha
Oleh : Drs. Mudiyono
ADA
pemandangan agak kontras. Dentingan musik bernada padu, sejuk dan merdu justru
bersumber dari sebuah rumah sederhana- berdinding pelepah gewang yang lazim
disebut bebak, sementara sebagiannya sudah tampak reot. Pemandangan kontras
menjadi kian tajam karena ru-mah sederhana sumber dentingan musik justru
berlokasi di Puluti, Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah. Kampung kecil yang
masih lengang itu sekitar 22 km arah timur Kupang, lumayan jauh dari pusat
keramaian kota Propinsi NTT di Pulau Timor itu. Paduan nada musik pengiring
lagu daerah Bolelebo yang didentingkan secara instrumentalia, terdengar
lengkap. Ada nada bas, nada pengiring dan juga nada melodi. Kelengkapan serta
keharmonisan paduan nadanya sungguh memancing penafsiran bunyi musik itu
bersumber dari tape recorder atau dari aksi sekelompok pemusik sebuah grup band
dalam rumah
Dugaan itu ternyata melenceng sangat jauh. Di sana-di dalam rumah yang sekaligus merupakan tempat usaha itu-cuma ada seorang pemuda lajang bernama Jack Pah (18). Ditontoni dua rekan sebayanya, Jack asyik bermain musik. Dan jangan terkejut, alat musik yang ia gunakan bukan peralatan musik modern. Alat musiknya hanya sebuah sasando-alat musik tradisional peninggalan leluhur Pulau Rote.
Dugaan itu ternyata melenceng sangat jauh. Di sana-di dalam rumah yang sekaligus merupakan tempat usaha itu-cuma ada seorang pemuda lajang bernama Jack Pah (18). Ditontoni dua rekan sebayanya, Jack asyik bermain musik. Dan jangan terkejut, alat musik yang ia gunakan bukan peralatan musik modern. Alat musiknya hanya sebuah sasando-alat musik tradisional peninggalan leluhur Pulau Rote.
Pulau seluas 1.214,3 km2 atau 2,6
persen dari wilayah NTT, kini didukung enam kecamatan dan masuk wilayah
Kabupaten Kupang. Tidak ada yang menyangkal jika sasando kini dikategorikan
sebagai kekhasan NTT selain cendana serta obyek wisata terkenal Danau Triwarna
Kelimutu di Kabupaten Ende dan Taman Nasional Komodo di Labuanbajo, Kabupaten
Manggarai.
Menurut Jeremias A Pah (60), ayah
Jack Pah, alat musik sasando itu semuanya buatan kami sendiri. Pembuatannya
melibatkan seluruh anggota keluarga. ''Anak-anak saya juga hampir semuanya bisa
bermain sasando. Karenanya, yang kami lakukan sekarang sebenarnya tidak sekadar
melestarikan keberadaan jenis musik sasando, tetapi sekaligus menjadi peluang
usaha,'' ujar Jeremias.
Ayah delapan anak ini adalah
salah seorang turunan leluhur Rote. Di Kota Kupang dan sekitarnya, keluarga Pah
dikenal berdarah seni musik. Mereka juga punya kepedulian khusus terhadap
pelestarian sasando. Salah seorang anggota keluarganya, Welly Pah (40) pernah
memainkan sasando hingga di Amerika Serikat dan Berlin, Jerman, tahun 1996 dan
1997. Kembali ke rumah Jeremias Pah, kalau Jack sedang asyik memetik sasando,
adiknya bernama Jitron Corion Pah (15) terlihat sedang sibuk di bagian lain
ruangan yang menjadi bengkel kerja. ''Ia sedang merampungkan sasando ukuran
kecil pesanan keluarga yang akan menyelenggarakan pernikahan di Surabaya.
Pesanannya lumayan banyak, 1.000 buah untuk cinderamata,'' tambah Jeremias
Pah.***
SANGAT beralasan sebagaimana
diceritakan berbagai pihak di Kupang dan sekitarnya, kalau keluarga Pah
dilukiskan sebagai penyelamat sasando. Turunan berdarah seni musik ini juga
dikenal sangat piawai memainkan sasando. Sebut saja misalnya Leonard Eduardus
Pah (alm). Didukung vokal istrinya, Ny Susana Dorothea M Pah, pasangan ini
hingga awal tahun 1990-an dikenal sangat getol memperkenalkan alat musik
tradisional peninggalan leluhurnya itu. Keluarga Pah lainnya, Jeremias Pah di
Oebelo, Kabupaten Kupang, tidak hanya mampu bermain sasando. Ia juga tekun mengajari
dan mendorong anak-anaknya agar mengakrabi alat musik tradisional itu. Putra
kelahiran Pulau Rote, 22 Oktober 1939 itu mendukung obsesinya dengan membuka
usaha kerajinan sasando di Oebelo. ''Sulit dibayangkan jika Jeremias Pah tidak
membuka usaha kerajinan itu. Pengunjung atau peminat sasando pasti sangat
kesulitan mendapatkan alat musik tradisional itu,'' tutur seorang pengunjung
dari sebuah perusahaan Asuransi di Kupang. Pernyataan sang pengunjung ini tidak
berlebihan. Alasannya, kerajinan serupa sangat sulit ditemukan di Kota Kupang.
''Pemusik di barat sangat terkagum-kagum ketika saya memainkan sasando di sana
beberapa tahun lalu. Mereka terkesan sulit mempercayaai kesaksiannya ketika
dari sebuah sasando yang dimainkan satu orang bisa menghasilkan paduan nada
secara lengkap,'' tambah Welly Pah mengenang gagasan mantan Gubernur NTT Herman
Musakabe. Katanya, Gubernur Musakabe ketika itu sangat terobsesi agar sasando
dikenal secara internasional. Karenanya ia tidak segan-segan membiayai Welly
Pah dan dua rekannya melanglang ke AS dan Eropa. Alhasil, sasando makin
mendunia. Pesanan terus mengalir, tidak hanya dari Amerika dan Eropa, tetapi
juga dari Jepang dan negara Asia lainnya.
BAGAIMANA sosok fisik alat musik
tradisional itu? Para ahli warisnya mengakui, tampilan sasando dewasa ini
memang sudah mengalami perubahan, namun sebagian besar bahan bakunya masih
asli.
Sebut saja daun lontar yang dilengkung hingga berbentuk setengah bundaran, masih dipertahankan hingga sekarang. Begitu juga potongan bambu yang dipasang seolah menjadi garis tengah permukaan bundaran daun lontar, masih seperti aslinya. Dalam bentuk aslinya dulu, tali pendentingnya langsung dari cungkilan kulit bambu di antara kedua bukunya. Potongan bambu itu kemudian diikatkan pada permukaan bundaran daun lontar, memotong garis tengahnya. Selanjutnya, tali-tali cungkilan tadi diganjal dengan potongan kayu yang disebut senda hingga mendapatkan nada yang diinginkan. Setelah semuanya terbentuk, sasando sudah bisa langsung dimainkan. Bundaran daun lontar dengan fungsi khusus memadukan resonansi hingga dentingan sasando yang terdengar lebih bergema, harmonis dan merdu.
Sebut saja daun lontar yang dilengkung hingga berbentuk setengah bundaran, masih dipertahankan hingga sekarang. Begitu juga potongan bambu yang dipasang seolah menjadi garis tengah permukaan bundaran daun lontar, masih seperti aslinya. Dalam bentuk aslinya dulu, tali pendentingnya langsung dari cungkilan kulit bambu di antara kedua bukunya. Potongan bambu itu kemudian diikatkan pada permukaan bundaran daun lontar, memotong garis tengahnya. Selanjutnya, tali-tali cungkilan tadi diganjal dengan potongan kayu yang disebut senda hingga mendapatkan nada yang diinginkan. Setelah semuanya terbentuk, sasando sudah bisa langsung dimainkan. Bundaran daun lontar dengan fungsi khusus memadukan resonansi hingga dentingan sasando yang terdengar lebih bergema, harmonis dan merdu.
Dalam perkembangan selanjutnya,
tali cungkilan kulit bambu diganti dengan senar dari kawat halus. Sementara di
kedua ujung bambu dipasangi potongan kayu keras yang akan ditancapi sejumlah
potongan skrup pengikat senar. Alat musik ini bisa langsung digunakan setelah
tali-talinya diganjali senda.
Belakangan atau sejak tahun
1980-an, tampilan sasando semakin bervariasi dengan ditemukannya sasando
listrik. Sasando ini berpenampilan ''telanjang''-hanya berupa potongan bambu
dengan rentangan senar sekelilingnya. Atau, tidak lagi menggunakan bundaran
daun lontar sebagai pengatur resonansi dentingannya. Meski begitu, pengunjung
sebagaimana diakui Jeremias Pah, lebih menyukai sasando lontar. Pilihan mereka
terutama pada sasando lipat. Alasannya, bisa dibawa ke mana-mana hingga negeri
jauh sekalipun. Di bengkel kerajinan Jeremias Pah belakangan memang hanya
menghasilkan sasando lipat. Melibatkan enam anggota keluarganya, dalam sebulan
bisa menghasilkan sekitar 20 sasando berukuran besar. Sasando jenis ini lazim
mereka sebut sebagai sasando gong (bertali 9-10) dan sasando biola (bertali
24-32). Sementara sasando kecil (untuk cinderamata) bisa dihasilkan mencapai 60
buah per bulan. Sasando cinderamata dipasarkan dengan Rp 2.500 - Rp 20.000 per
buah. Sedangkan sasando besar (gong atau biola) antara Rp 200.000 - Rp 300.000
per buah. Jeremias menjelaskan, penghasilannya dari usaha kerajinan sasando, tiap
bulannya tidak tentu-bergantung musim. Kalau musim hujan biasanya sepi. (frans
sarong)
KESIMPULAN :
1.
Alat Musik Sasando berasal dari Pulau Rote -
Nusa Tenggara Timur
2.
Untuk membuat Sasando dibutuhkan keahlian
khusus, dan karena tidak banyak orang NTT yang mampu membuat Sasando maka
pembuatan sasando dapat dijadikan peluang usaha sekaligus pelestrian budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar