Selasa, 08 Oktober 2013

CONTOH SUSUNAN TUGAS SENI MUSIK



Sasando, antara Pelestarian Budaya dengan Peluang Usaha



 
Oleh : Drs. Mudiyono

Text Box: GAMBAR/FOTOADA pemandangan agak kontras. Dentingan musik bernada padu, sejuk dan merdu justru bersumber dari sebuah rumah sederhana- berdinding pelepah gewang yang lazim disebut bebak, sementara sebagiannya sudah tampak reot. Pemandangan kontras menjadi kian tajam karena ru-mah sederhana sumber dentingan musik justru berlokasi di Puluti, Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah. Kampung kecil yang masih lengang itu sekitar 22 km arah timur Kupang, lumayan jauh dari pusat keramaian kota Propinsi NTT di Pulau Timor itu. Paduan nada musik pengiring lagu daerah Bolelebo yang didentingkan secara instrumentalia, terdengar lengkap. Ada nada bas, nada pengiring dan juga nada melodi. Kelengkapan serta keharmonisan paduan nadanya sungguh memancing penafsiran bunyi musik itu bersumber dari tape recorder atau dari aksi sekelompok pemusik sebuah grup band dalam rumah
Dugaan itu ternyata melenceng sangat jauh. Di sana-di dalam rumah yang sekaligus merupakan tempat usaha itu-cuma ada seorang pemuda lajang bernama Jack Pah (18). Ditontoni dua rekan sebayanya, Jack asyik bermain musik. Dan jangan terkejut, alat musik yang ia gunakan bukan peralatan musik modern. Alat musiknya hanya sebuah sasando-alat musik tradisional peninggalan leluhur Pulau Rote.
Pulau seluas 1.214,3 km2 atau 2,6 persen dari wilayah NTT, kini didukung enam kecamatan dan masuk wilayah Kabupaten Kupang. Tidak ada yang menyangkal jika sasando kini dikategorikan sebagai kekhasan NTT selain cendana serta obyek wisata terkenal Danau Triwarna Kelimutu di Kabupaten Ende dan Taman Nasional Komodo di Labuanbajo, Kabupaten Manggarai.
Menurut Jeremias A Pah (60), ayah Jack Pah, alat musik sasando itu semuanya buatan kami sendiri. Pembuatannya melibatkan seluruh anggota keluarga. ''Anak-anak saya juga hampir semuanya bisa bermain sasando. Karenanya, yang kami lakukan sekarang sebenarnya tidak sekadar melestarikan keberadaan jenis musik sasando, tetapi sekaligus menjadi peluang usaha,'' ujar Jeremias.
Ayah delapan anak ini adalah salah seorang turunan leluhur Rote. Di Kota Kupang dan sekitarnya, keluarga Pah dikenal berdarah seni musik. Mereka juga punya kepedulian khusus terhadap pelestarian sasando. Salah seorang anggota keluarganya, Welly Pah (40) pernah memainkan sasando hingga di Amerika Serikat dan Berlin, Jerman, tahun 1996 dan 1997. Kembali ke rumah Jeremias Pah, kalau Jack sedang asyik memetik sasando, adiknya bernama Jitron Corion Pah (15) terlihat sedang sibuk di bagian lain ruangan yang menjadi bengkel kerja. ''Ia sedang merampungkan sasando ukuran kecil pesanan keluarga yang akan menyelenggarakan pernikahan di Surabaya. Pesanannya lumayan banyak, 1.000 buah untuk cinderamata,'' tambah Jeremias Pah.***
SANGAT beralasan sebagaimana diceritakan berbagai pihak di Kupang dan sekitarnya, kalau keluarga Pah dilukiskan sebagai penyelamat sasando. Turunan berdarah seni musik ini juga dikenal sangat piawai memainkan sasando. Sebut saja misalnya Leonard Eduardus Pah (alm). Didukung vokal istrinya, Ny Susana Dorothea M Pah, pasangan ini hingga awal tahun 1990-an dikenal sangat getol memperkenalkan alat musik tradisional peninggalan leluhurnya itu. Keluarga Pah lainnya, Jeremias Pah di Oebelo, Kabupaten Kupang, tidak hanya mampu bermain sasando. Ia juga tekun mengajari dan mendorong anak-anaknya agar mengakrabi alat musik tradisional itu. Putra kelahiran Pulau Rote, 22 Oktober 1939 itu mendukung obsesinya dengan membuka usaha kerajinan sasando di Oebelo. ''Sulit dibayangkan jika Jeremias Pah tidak membuka usaha kerajinan itu. Pengunjung atau peminat sasando pasti sangat kesulitan mendapatkan alat musik tradisional itu,'' tutur seorang pengunjung dari sebuah perusahaan Asuransi di Kupang. Pernyataan sang pengunjung ini tidak berlebihan. Alasannya, kerajinan serupa sangat sulit ditemukan di Kota Kupang. ''Pemusik di barat sangat terkagum-kagum ketika saya memainkan sasando di sana beberapa tahun lalu. Mereka terkesan sulit mempercayaai kesaksiannya ketika dari sebuah sasando yang dimainkan satu orang bisa menghasilkan paduan nada secara lengkap,'' tambah Welly Pah mengenang gagasan mantan Gubernur NTT Herman Musakabe. Katanya, Gubernur Musakabe ketika itu sangat terobsesi agar sasando dikenal secara internasional. Karenanya ia tidak segan-segan membiayai Welly Pah dan dua rekannya melanglang ke AS dan Eropa. Alhasil, sasando makin mendunia. Pesanan terus mengalir, tidak hanya dari Amerika dan Eropa, tetapi juga dari Jepang dan negara Asia lainnya.
BAGAIMANA sosok fisik alat musik tradisional itu? Para ahli warisnya mengakui, tampilan sasando dewasa ini memang sudah mengalami perubahan, namun sebagian besar bahan bakunya masih asli.
Sebut saja daun lontar yang dilengkung hingga berbentuk setengah bundaran, masih dipertahankan hingga sekarang. Begitu juga potongan bambu yang dipasang seolah menjadi garis tengah permukaan bundaran daun lontar, masih seperti aslinya. Dalam bentuk aslinya dulu, tali pendentingnya langsung dari cungkilan kulit bambu di antara kedua bukunya. Potongan bambu itu kemudian diikatkan pada permukaan bundaran daun lontar, memotong garis tengahnya. Selanjutnya, tali-tali cungkilan tadi diganjal dengan potongan kayu yang disebut senda hingga mendapatkan nada yang diinginkan. Setelah semuanya terbentuk, sasando sudah bisa langsung dimainkan. Bundaran daun lontar dengan fungsi khusus memadukan resonansi hingga dentingan sasando yang terdengar lebih bergema, harmonis dan merdu.
Dalam perkembangan selanjutnya, tali cungkilan kulit bambu diganti dengan senar dari kawat halus. Sementara di kedua ujung bambu dipasangi potongan kayu keras yang akan ditancapi sejumlah potongan skrup pengikat senar. Alat musik ini bisa langsung digunakan setelah tali-talinya diganjali senda.
Belakangan atau sejak tahun 1980-an, tampilan sasando semakin bervariasi dengan ditemukannya sasando listrik. Sasando ini berpenampilan ''telanjang''-hanya berupa potongan bambu dengan rentangan senar sekelilingnya. Atau, tidak lagi menggunakan bundaran daun lontar sebagai pengatur resonansi dentingannya. Meski begitu, pengunjung sebagaimana diakui Jeremias Pah, lebih menyukai sasando lontar. Pilihan mereka terutama pada sasando lipat. Alasannya, bisa dibawa ke mana-mana hingga negeri jauh sekalipun. Di bengkel kerajinan Jeremias Pah belakangan memang hanya menghasilkan sasando lipat. Melibatkan enam anggota keluarganya, dalam sebulan bisa menghasilkan sekitar 20 sasando berukuran besar. Sasando jenis ini lazim mereka sebut sebagai sasando gong (bertali 9-10) dan sasando biola (bertali 24-32). Sementara sasando kecil (untuk cinderamata) bisa dihasilkan mencapai 60 buah per bulan. Sasando cinderamata dipasarkan dengan Rp 2.500 - Rp 20.000 per buah. Sedangkan sasando besar (gong atau biola) antara Rp 200.000 - Rp 300.000 per buah. Jeremias menjelaskan, penghasilannya dari usaha kerajinan sasando, tiap bulannya tidak tentu-bergantung musim. Kalau musim hujan biasanya sepi. (frans sarong)



 

KESIMPULAN :
1.       Alat Musik Sasando berasal dari Pulau Rote - Nusa Tenggara Timur
2.       Untuk membuat Sasando dibutuhkan keahlian khusus, dan karena tidak banyak orang NTT yang mampu membuat Sasando maka pembuatan sasando dapat dijadikan peluang usaha sekaligus pelestrian budaya



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar